Nabi Ibrahim AS. adalah salahseorang Nabi yang termasuk ke dalam ulul ‘azmi, yaitu golongan Nabi yang salahsatu cirinya memiliki kesabaran lebih dibanding manusia biasa. Beliau juga dikenal sebagai abul adyan (baca: bapak agama). Beliau adalah pengembara spiritual (pencari Tuhan) sebagaimana dikisahkan dalam surah al-An’am ayat 75-76.
Kesabaran
beliau dapat kita ketahui melalui penulusuran kisah hidupnya. Salahsatu
kisah yang menggambarkan kesabaran beliau adalah kesabaran beliau dalam
penantian yang lama menunggu kelahiran seorang anak setelah menikah
dengan Siti Sarah (isteri pertamanya). Dan kesabaran beliau dalam
melaksanakan perintah Allah Swt. setelah memiliki anak.
Kala
itu Nabi Ibrahim As. dengan sabar menunggu karunia Allah Swt.. Sampai
tibalah suatu waktu, dengan kerelaan istri pertamanya ia menikah dengan
Siti Hajar (istri kedua). Dari pernikahannya yang kedua inilah, ia
dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Ismail.
Namun
kebahagiaan sebagai seorang yang dirasakan Nabi Ibrahim bersama Siti
Hajar kembali diuji oleh Allah Swt.. Ia diperintahkan untuk mengasingkan
Siti Hajar serta Ismail yang masih bayi ke bukit Shafa yang gersang nan
tandus. Tempat
yang jauh dari pemukiman penduduk. Tidak mustahil banyak terdapat
binatang buas di tempat tersebut. Tetapi dengan penuh ketaatan dan
kesabaran berangkatlah Ibrahim mengantarkan istri dan putranya ke tempat
tersebut. Kemudian meninggalkan mereka di bukit gersang nan tandus
tersebut.
Selang beberapa waktu Siti Hajar dan Ismail ditinggalkan Nabi Ibrahim, ujian menyapa mereka. Ismail merasakan kehausan. Sedangkan
persediaan minuman serta makanan telah habis. Ditambah lagi air susu
sang ibu tidak dapat disusukan karena telah banyak keluar tenaga dan
asupan tidak ada. Namun, Ismail yang belum cukup faham dengan keadaan
ibunya tetap menangis.
Siti
Hajar pun diliputi kebingungan. Wajar saja, secara logika di bukit
gersang nan tandus akan sangat sulit mendapatkan air. Tapi agungnya
pengorbanan seorang ibu tidak terhalang oleh hal demikian. Dengan gigih
Siti Hajar berlari-lari kecil (sa’i) menuju bukit Marwah. Dalam
pandangannya, ia melihat genangan air di bukit tersebut. Namun, setelah
didatangi ternyata yang ia dapati hanya fatamorgana. Lantas ia pun
kembali lagi ke bukit Shafa karena setelah tiba di bukit Marwah ia
melihat genangan air berada di bukit Shafa. Tapi yang ia dapati
fatamorgana jua. Alhasil, ia hilir mudik antara Shafa dan Marwah
sebanyak tujuh kali. Berlari-lari kecil (baca: sa’i) ini menjadi
syari’at umat Nabi Muhammad saw., sebagai salahsatu rukun ibadah haji.
Setelah
cukup lelah hilir mudik sebanyak tujuh kali antara Shafa dan Marwah,
tiba-tiba ia melihat pancaran air dari tanah bawah. Tepat pada bekas
jejak kaki Ismail yang selonjor. Air tersebut terus memancar keluar dari
permukaan tanah. Sehingga menjadi genangan. Melihat genangan air yang
semakin besar itu, Siti Hajar bersyukur atas anugerah Allah tersebut dan
berkata pada air itu, “zam zam ya al ma’u” (kumpul,
kumpul wahai air). Air tersebut membentuk genangan yang semakin lama
semakin besar semacam sumur. Alhasil, ronta dan tangis kehausan Ismail
pun dapat terobati dengan air yang penuh berkah. Bahkan sampai saat ini,
air tersebut masih tetap memacarkan berkah bagi semua peminumnya dan
tiada pernah kering walau sudah miliyaran orang mereguknya selama
berabad-abad.
Beberapa
tahun kemudian Nabi Ibrahim mendapat ilham dari Allah melalui mimpi
untuk menyembelih putranya Ismail. Tepat ketika Ismail telah tumbuh
menjadi anak remaja yang ceria dan mulai terampil membantu sang ayah
bekerja. Namun dengan kesabarannya, Ibrahim menyampaikan perintah Allah
tersebut (ilham) yang didapat melalui mimpinya kepada Ismail dengan
diliputi perasaan gundah, “Hai
anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.
Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”. Ismail menjawab: “Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah bapak akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S. Ash Shaaffaat:102).
Tatkala
keduanya telah bersepakat melaksanakan titah Yang Mahakuasa, mereka pun
pergi mencari tempat untuk melaksanakan penyembelihan. Tetapi kemudian
godaan datang dari syaitan,
mereka (Ibrahim dan Ismail) dipengaruhi supaya tidak jadi
melaksanakannya. Tetapi dengan komitmen yang kuat mereka berdua tetap
akan melaksanakan perintah Allah tersebut. Sampai Ibrahim melempar batu
mengusir syaitan di beberapa tempat. Inilah asal mula disyari’atkannya lemparjumrah pada saat ibadah haji.
Setelah
tiada lagi yang mengganggu, Ibrahim membaringkan anaknya. Dengan penuh
kesabaran dan ketaatan, Ibrahim pun menempelkan sebilah senjata tajam
(sejenis golok) ke leher Ismail. Puncak penyerahan diri yang optimal
kepada Allah. Namun yang terjadi di luar dugaan mereka. Ketika senjata
tajam digesekan ke leher Ismail, Allah menggantinya dengan seekor gibas
(sejenis domba) yang besar. Demikian ini menjadi sunnah ibadah qurban
yang kita laksanakan pada hari ‘Idul Adha dan tiga hari berikutnya.
Demikian
kisah yang dialami keluarga teladan dalam mencapai ketaatan pada Yang
Maha berhak ditaati. Pengalaman sang ibu yang diasingkan, ayah yang
mendapat perintah untuk menyembelih buah hatinya yang telah lama
didambakan serta sang anak yang merelakan diri untuk disembelih.
Mudah-mudahan
kita dapat meneladani kesabaran, ketaatan serta pengorbanan di jalan
kebaikan yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim As. dan keluarganya. Wallahu a’lam bis showab.